Menjadikan Ulama Sebagai Tandingan Allah
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, di antara konsekuensi kalimat syahadat yang selalu kita dengung-dengungkan adalah tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghalalkan apa yang Allah halalkan dan mengharamkan apa yang Allah haramkan. Maka sebuah kewajiban bagi semua kaum muslimin untuk selalu mendahulukan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari seluruh ucapan manusia di dunia ini setinggi apapun kedudukannya dan semulia apapun nasabnya. Tidak boleh kita taklid buta kepada seseorang sampai-sampai ketika beliau tergelincir dalam suatu permasalahan, maka kita tetap mengikuti ketergelinciran beliau dan melupakan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum nasrani dan yahudi,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”
(QS. At Taubah : 31)
Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu
‘anhu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan
ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata : “Wahai
Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أليس يحلون لكم ما حرم
الله فتحلونه، ويحرمون ما أحل الله فتحرمونه؟
“Bukankah mereka
menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun
menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan
sehingga kalian mengharamkannya?”. Beliau (Adi bin Hatim) berkata :
“Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فتلك عبادتهم
“Itulah (yang dimaksud)
beribadah kepada mereka”[1]
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menafsirkan bahwa maksud “menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”
bukanlah maknanya ruku’ dan sujud kepada mereka. Akan tetapi maknanya
adalah mentaati mereka dalam mengubah hukum Allah dan mengganti syari’at
Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Perbuatan tersebut dianggap sebagai bentuk beribadah kepada mereka
selain kepada Allah dimana mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah
tersebut sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam masalah menetapkan
syari’at.Barangsiapa yang mentaati mereka dalam hal tersebut, maka sungguh dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syari’at serta menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah syirik besar”[2]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah mengatakan : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa mentaati ulama dan ahli ibadah dalam bermaksiat kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada mereka selain kepada Allah, dan termasuk syirik akbar yang tidak diampuni oleh Allah”[3]
Kemudian Allah Ta’ala berfirman dalam kelanjutan ayat di atas,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا
“Padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa” (QS. At Taubah : 31)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas :
“Yakni Rabb yang jika mengharamkan sesuatu, maka hukumnya haram. Dan
apa yang Dia halalkan, maka hukumnya halal. Dan apa yang Dia
syari’atkan, maka harus diikuti. Dan apa yang Dia tetapkan, maka harus
dilaksanakan”[4]Hal ini menunjukkan bahwa penetapan syari’at, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu, adalah hak mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lalu Allah Ta’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,
سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Maha suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah : 31)
Akhir ayat tersebut menunjukkan mengikuti seseorang ataupun ulama
yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang
Allah haramkan adalah sebuah kesyirikan. Kenapa? Karena mengikuti ulama
yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang
Allah haramkan sama saja mengatakan bahwa ulama tersebut berhak untuk
mengharamkan dan menghalalkan sesuatu padahal hak menghalalkan dan
mengharamkan sesuatu adalah hak mutlak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hakikatnya sama saja ia membuat tandingan/sekutu bagi Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam menetapkan syari’at. Inilah yang disebut dengan asy
syirku fit tha’ah, syirik dalam hal ketaatan.Apakah pelakunya otomatis kafir?
Orang yang mengikuti ketergelinciran ulama dalam mengharamkan apa yang Allah Ta’ala halalkan dan sebaliknya tidak boleh langsung dicap kafir. Akan tetapi dalam masalah ini ada perincian sehingga hukumnya berbeda-beda tergantung individunya. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah memberikan perincian dalam masalah ini :
- Jika dia meyakini bahwa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah sebuah perkara yang diperbolehkan, maka ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya keluar dari Islam
- Jika dia tidak meyakini bolehnya perbuatan tersebut, tetapi meyakini bahwa menghalalkan dan mengharamkan adalah hak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi dia melakukannya karena dorongan hawa nafsunya, atau karena ingin mewujudkan beberapa maslahat, maka ini adalah dosa besar tetapi tidak sampai derajat syirik akbar[5]
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Hampir saja batu jatuh dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’. Tetapi kalian mengatakan : ‘Abu Bakar dan Umar berkata?’ “[6]
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : “Aku heran terhadap orang yang mengetahui sanad suatu hadits dan keshahihannya, tetapi mereka berpaling kepada pendapat Sufyan (Ats Tsauri). Allah Ta’ala berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur : 63)
Apakah engkau tahu apa yang
dimaksud ‘fitnah’? Fitnah adalah kesyirikan. Bisa jadi jika dia
membantah sebagian sabda Rasulullah maka kesesatan akan tertanam di
hatinya hingga akhirnya dia binasa”[7]
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Orang
yang sengaja membantah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena mengikuti hawa nafsunya atau karena fanatik terhadap
syaikhnya yang ia taklid kepadanya, maka (berdasarkan surat An Nuur di
atas) ia diancam dengan dua hukuman :- Kesesatan yang bercokol di hati. Ketika mereka berpaling dari Al Qur’an dan tidak mau mempelajarinya, maka Allah akan membuat hati-hati mereka berpaling dari kebenaran sebagai hukuman atas mereka. Ini adalah bahaya yang sangat besar
- Tertimpa adzab yang pedih yang dirasakan jasad mereka, yakni dengan terbunuh di dunia. Dimana Allah akan memberikan orang lain keleluasaan untuk membinasakan dirinya dan membunuhnya sebagai bentuk hukuman bagi mereka. Jikapun mereka mati bukan karena dibunuh, maka mereka akan diadzab di neraka (akibat penyelisihan mereka terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). [8]
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sungguh musibah taklid buta telah tersebar saat ini di masyarakat kita. Mereka lebih mendahulukan pendapat ustadz, ulama, kiyai, atau habib kesayangan mereka dibandingkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah tidaklah membuat mereka meninggalkan adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan keduanya. Maka hendaklah kita semua takut akan ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur : 63)
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ
اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Maka tatkala mereka
berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (QS. Ash Shaff : 5)
Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan kita taufik untuk selalu berpegang teguh
kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan meninggalkan pendapat manusia
siapapun dia jika bertentangan dengan keduanya. Wallahu waliyyut
taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar